Toleransi

Dia : "Kasih tau apa yang ada di pikiran kamu."

Gue : "Berapa banyak waktu yang lo punya ?"


Mungkin orang yang kenal dan sering berinteraksi sama gue di 6 tahun yang lalu taunya tentang gue yang berusaha sekeras mungkin untuk menambal semua keretakan yang ada di hubungan gue, gak peduli seberapa besar efek kerusakan yang bakal gue dapetin, intinya hubungan itu harus tetap ada, karna setiap waktu, materi, tenaga, dan pikiran yang udah keluar gak boleh berakhir sia-sia, dan nyatanya sebuah paksaan keras dalam sebuah hubungan itu malah ngebuat hubungan itu menjadi semakin tipis lalu menipis terus sampai akhirnya hilang tak tersisa.


Dan kenapa gue tulis tulisan ini, baiklah kita lompat sesi setelah "hampir" yaitu saat dimana gue percaya setiap hubungan itu ternyata cuma memiliki 1 kesempatan, dan setelah kesempatan itu tidak diambil oleh si pasangan, maka hubungan itu lebih baik ditinggalkan.


Dan ini awal mula gue menjadi pribadi tanpa ampun, seolah apa yang gue lakuin udah yang terbaik, dan orang lain tidak berhak merubah keburukannya.


Ya hampir setahun gue sendiri waktu itu, lalu bertemu dengan seseorang yang baru, karna dia berasal dari circle yang bahkan sebelumnya gue gak pernah main bareng, kita deket lalu semakin deket dan akhirnya kita berpacaran.


Indah, semua pasti berharap sesuatu yang baru itu akan jauh lebih indah, berbeda dengan sebelumnya, ada selisih 3 tahun antara gue dan dia, tidak jauh, tapi cukup untuk bikin gue bisa membimbing wanita ini. Tapi kenyataannya dibeberapa sisi gue belum siap untuk dibangkang, dia memiliki caranya sendiri untuk berpasangan.


Ada beberapa kesempatan gue mencoba untuk melangkah ke jenjang yang lebih serius sama dia, dan dia pun mengiyakan, sampai akhirnya gue gak tau dia sadar atau nggak kalo lagi teleponan sama gue dan tetiba gue denger ada seseorang bertanya ke dia "B, denger-denger katanya lo mau nikah ya sama yang ini ?", lalu dengan cepat dia menjawab "ah enggak, serius banget kayanya, enggak kok, kan gue juga masih muda, masih banyak yang mau gue kejar", dan saat itu gue cuma terdiam berpura gak tau atau dengar tentang apapun, tapi dalam hati gue itu cukup menghancurkan harapan gue tentang bersama dengan dia. Tapi gue gak mau ambil kesimpulan singkat dari kata-kata itu, gue masih bersikap seperti biasa.


Lalu beberapa waktu kemudian, gue minta tolong sama dia untuk nemenin gue ke rumah sakit untuk medical check-up, harapan gue disaat itu ada pasangan gue yang bisa nemenin atau mungkin sedikit bersikap manja seperti seharusnya, cuma karna keadaan gue yang cukup lemah saat itu gue minta sama dia untuk dateng pake transportasi online dan gue yang bakal bayar di RS, dia sempat mengiyakan, sampai akhirnya gue udah ada di rs dan dia membatalkan untuk dateng nemenin karna katanya ada kerjaan dadakan. Gue cukup sedih karna harus sendirian dalam keadaan kaya begitu, tapi mau gimana itu lebih penting dibanding cuma nemenin gue ke RS doang.


Lalu setelah kejadian itu, keadaan gue ternyata gak membaik, gue drop di rumah, demam tinggi, muntah-muntah, yang menyebabkan gue lemah banget kondisinya saat itu, dan keluarga gue ngebawa gue ke RS untuk dirawat (Februari akhir 2019 Sebelum masa pandemi, jadi bisa dipastikan saat itu gue bukan Covid), ya akhirnya gue di rawat dengan hasil diagnosa DBD, tanpa ada informasi ke siapapun, bahkan ke temen-temen gue, saat itu gue berharap ada perhatian dari pasangan gue, karna selama 5 hari gue dirawat kita gak ada komunikasi sama sekali, sampai akhirnya gue gue posting sebuah foto tepat 3 Maret 2019 di hari ulang tahun gue, disitu ada foto bareng sama keluarga-keluarga gue dan keadaan gue masih terduduk di tempat tidur dengan infus yang masih tertancap ke tangan kanan kiri gue.


Barulah semua orang sadar kalo selama gue gak ada di sekitar mereka berarti karna terjadi sesuatu dengan gue, hal itu cukup menyedihkan karna harus ngelewatin masa lemah seperti itu sendirian (bukan berarti gak ada keluarga yang mendampingi), tapi dimana pasangan gue ?, di hari yang sama gue yang udah terlalu capek dengan kejadian itu memutuskan untuk mengakhiri hubungan gue, bukan tanpa alasan, bahkan gue chat ke dia lengkap dengan segala alasan tentang keputusan gue saat itu, baru aja gue klik send.. *kreeeeek* gue denger ada suara pintu terbuka dan gak lama gue liat beberapa orang temen gue dateng untuk menjenguk gue dan salah satunya adalah pasangan gue saat itu, dia dateng dengan wajah khawatir dan berusaha untuk menghibur gue juga menyuapi gue. Tapi karna pesannya baru aja gue kirim, gue cuma bisa terdiam, gak tau harus ngomong apa lagi, sedangkan dia belum sadar kalo di HP-nya baru aja masuk pesan keputusan gue.


Sampai akhirnya dia heran dengan respon gue saat itu yang agak acuh, dia duduk di sofa untuk tamu, dan ngecek HP-nya lalu sadar tentng sesuatu yang menyedihkan.


Sesaat setelah dia tau tentang hal itu, dia sempet duduk di sisi tempat tidur gue, dan memohon untuk bisa diberi kesempatan untuk ngebayar kesalahannya, tapi enggak, saat itu gue terlalu memastikan kalo sebuah hubungan yang udah berakhir itu, yaudah selesai, kalo kita lanjutin lagi pasti akan ada momen dimana gue bakal inget kesalahannya dia di kemudian hari dan menjadikan hal itu bahan serangan gue untuk setiap argumentasi yang bakal terjadi.


Ya, saat itu gue bisa dibilang udah jadi orang jahat, yang tidak mau memaafkan kesalahan pasangan gue, karna gue sudah lelah memberikan "Toleransi".


Gue cuma gak mau kalo gue jadi terlalu baik dan pasangan gue gak belajar dari apa yang udah pernah terjadi, lebih baik gue jadi orang jahat seperti itu dan membiarkan dia untuk berbuat hal yang jauh lebih baik terhadap pasangannya yang selanjutnya.


Maaf ya untuk segala kesempatan yang sudah tertutup, be good "Bumblebing".





Comments

Popular Posts